Hutung mempunyai nama ilmiah Barringtonia asiatica L. Kurz termasuk dalam famili Lecythidaceae adalah sejenis pohon yang tumbuh di pantai-pantai wilayah tropika, di Samudra Hindia, kawasan Malesia, hingga ke pulau-pulau di Pasifik barat. Hutung secara luas dikenal dengan nama Keben, ada juga yang menyebutnya butun dan putat laut. Di Indonesia sendiri, tanaman ini mempunyai banyak nama diantaranya butun (Sunda), Kebena (Jawa), Bitung (Sulawesi Utara), Kebena-Kebena (Bali), dan Maliou (Papua). Buahnya terapung di air, sehingga tersebar secara luas pada banyak pulau dan pantai. Tinggi tanaman dapat mencapai 30 m. Kayunya digunakan dalam pekerjaan konstruksi dan juga untuk membuat kano.
Penyebaran. Habitat tumbuhan Hutung merupakan kawasan litoral yang hampir ekslusif, pada beberapa daerah pohonnya dapat tumbuh jauh ke daratan pada bukit atau jurang berkapur. Biasanya tumbuh pada pantai berpasir atau koral-pasir disepanjang pantai atau rawa mangrove pada ketinggian 0–350 m di atas permukaan laut. Pohon hutung ini merupakan spesies Barringtonia asli mangrove yang habitatnya di pantai tropis dan pulau-pulau di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik Barat dari Zanzibar ke timur Taiwan, Filipina, Fiji, Kaledonia Baru, Kepulauan Solomon, Kepulauan Cook, Wallis, dan Futuna serta Polinesia Prancis. Penyabaran di Indonesia meliputi Jawa, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Di Indonesia, hutung atau keben pernah mendapat predikat sebagai pohon perdamaian. Predikat itu ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada Hari Lingkungan Hidup, pada tanggal 5 Juni 1986. Tema Hari Lingkungan Hidup tahun itu adalah “A Tree for Peace”. Konon, hutung atau keben adalah tumbuhan pertama yang tumbuh di pulau itu setelah meletusnya Gunung Krakatau. Di dalam Keraton Yogyakarta, terdapat area yang dinamai keben karena area tersebut ditanami tanaman tersebut. Konon, keben di Keraton Yogyakarta bermakna sebagai lambang negara yang agung dan bersih. Selain itu, keben juga bermakna merangkul kebenaran.
Pohon Hutung dengan tinggi 5–17 m dan diameternya 50 cm. Batang pada umumnya agak bengkok, bercabang-cabang rendah dekat tanah. Daun duduk, bulat telur terbalik, bentuk memanjang atau bentuk lanset, kerapkali dengan ujung dan pangkal membulat, 20-60 x 10–24 cm, yang besar kerapkali berseling dengan yang kecil, tepi rata, gundul serupa kulit, mengkilat. Daun penumpu kecil tak berarti. Bunga beraturan, kerapkali panjang, dalam tandan yang tegak, di ujung berbunga 4-20.
Pemanfaatan. Pohon Hutung kadang-kadang dimanfaatkan sebagai tanaman hias. Pohon dan bijinya mengandung saponin yang dapat digunakan sebagai racun ikan. Biji yang digunakan sebagai racun ikan seringkali dicampur dengan tuba (Derris – rotenon). Masyarakat Papua menggunakan biji hutung untuk menangkap ikan. Bijinya diparut kemudian disebar dipermukaan selokan yang dalamnya mencapai 1 meter sehingga ikan akan pingsan dan mudah ditangkap dipermukaan air. Pemanfaatan tumbuhan ini berbeda-beda di setiap negara dan daerah. Bagian tumbuhan yang digunakan adalah biji, buah dan daunnya. Di Filipina daunnya digunakan sebagai obat untuk sakit perut. Sedangkan suku Aborigin di Australia menggunakan tumbuhan ini sebagai racun ikan dan sebagai obat sakit kepala (Bustanussalam dan Simanjuntak, 2009)
Minyak yang berwarna kemerahan dapat diperoleh dengan memanaskan dan memeras bijinya. Di Jawa, cairan yang diperoleh dari bijinya dapat digunakan sebagai perekat dalam pembuatan payung, serta untuk membunuh ekto-parasit, seperti lintah. Kandungan kimia yang terkandung pada tanaman hutung, antara lain alkaloid, steroid, triterpenoid, tanin, saponin dan flavonoid pada biji dan buahnya. Daunnya mengandung senyawa triterpenoid, alkaloid, flavonoid, likopin dan tanin. Kulit kayunya mengandung senyawa tanin dan saponin (Megumi, 2018). Hutung banyak digunakan sebagai obat-obatan tradisional. Beberapa manfaat dari buahnya adalah sebagai obat sakit perut, obat rematik, dan dapat pula menjadi obat luka dengan cara memarut biji buahnya kemudian diletakkan pada daerah yang terluka (Anonimous, 2018).
Daun hutung menghasilkan warna cokelat kemerahan biasa digunakan untuk pewarna pakaian dan bisa juga untuk pewarna rambu. Uji stabilitas terhadap sinar matahari menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan warna dan tidak mengakibatkan iritasi pada kulit sehingga ekstrak kering daun keben dapat digunakan sebagai pewarna rambut (Misura, 2013).
Budidaya. Secara alami pohon hutung berkembangbiak dengan biji (generatif). Untuk budidaya dibuat perlakuan perkecambahan dengan pembusukan di dalam karung. Hutung memiliki karakter biji yang dilapisi oleh suatu spon yang cukup tebal dan diluar spon tersebut terdapat lapisan yang kedap air. Biji yang cukup besar merupakan faktor penghambat dalam pembuatan bedeng tabur untuk hutung. Perlakuan melalui teknik pembusukan yaitu menyayat lapisan luar buah hutung dan menempatkan di dalam karung kemudian ditempatkan pada ruang yang ternaungi namun masih terkena hujan dan sedikit matahari. Perlakuan ini ternyata mampu menghasilkan daya pengecambahan hingga 90 % pada bulan ke 2. (Suryawan, dkk, 2014).
Daftar Pustaka :
- Anonimous, 2018. Butun. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/Butun.. Diakses tanggal 15 November 2018.
- Bustanussalam dan P. Simanjuntak, 2009. Uji Bioaktivitas Senyawa Glikosida dari Biji Keben (Barringtonia asiatica L. Kurz). Jurnal Natur Indonesia 12(1), Oktober 2009: 9-14. ISSN 1410-9379.
- Megumi, S.R. 2018. Keben, Kerabat Mangrove dengan Buah Unik. https://www.greeners.co/flora-fauna/keben-kerabat-mangrove-dengan-buah-unik/. Diakses tanggal 15 November 2018.
- Misura, M.H, 2013. Pemanfaatan Ekstrak Daun Keben (Barringtonia asiatica Kurz.) Sebagai Pewarna Rambut. Skripsi. Program Ekstensi Sarjana Farmasi. Fakultas Farmasi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
- Suryawan, A, N. Asmadi, dan R Mamonto, 2014. Ujicoba Pengecambahan Vegetasi Pantai (Terminallia cattapa, Calopyllum inophylum L, dan Baringtonia asiatica) Di Persemaian Permanen Kima Atas. Jurnal WASIAN Vol.1 No.1 Tahun 2014:9-13.
Sumber:
Irwanto, A. Tuhumury, A. Sahupala, L. Pelupessy, M. Loiwatu, L. Siahaya, F. Tetelay dan R. Oszaer. 2019. POHON MALUKU. Penyebaran, Pemanfaatan dan Budidaya. Pattimura University Press. Ambon. ISBN: 978-602-5943-11-9. Hal. 45-49.